Hari Buku Nasional, Penggiat Buku: Beli Buku Asli, Bukan Bajakan

Medan, Sobat - Tanggal 17 Mei tiap tahunnya diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Memperingati hari tersebut, Sobat berbincang lewat keliru satu penggiat buku di Medan.
Jhon Fawer Siahaan, Pendiri Yayasan Institute Sumatera, sebuah pusat pengarsipan buku-buku lokal Sumatra hadapan Kota Medan. Kegiatan yang berkaitan, pernah membuat pameran buku terbitan 1816-1967, pada 2017 lantas.
Di momen Hari Buku Nasional ini, ia pun mengajak untuk mengapresiasi penulis dan karyanya memakai mengambil adapun orisinal, bukan bajakan.
"Penulis itu layak kita apresiasi. Kita dukung bocah-bocah akan bagaimana caranya memborong buku," kata pria 33 tahun ini kepada Sobat saat ditemui di Literacy Coffee, Senin (17/5/2021) sore.
1. Jhon mengaitkan Hari Buku Nasional bersama statement Tan Malaka
Jhon bercerita, keinginannya menginisiasi yayasan terkemuka berawal ketimbang ketertarikannya pada studi lokal dan melihat keterbatasan buku daerah sebagai sumber kepenulisan.
"Aku menginisiasi ini menjabat sebuah studi pusat kajian, jadi buku-bukunya lebih kepada ilmiah," ceripertanyaan.
Hal itu, kata Jhon, bermula ketika ada anak-anak muda yang tertarik ala studi lokal, tapi mereka gak bisa mengerjakannya menjabat skripsi lagi buku lain yang ala akhirnya, mereka riset populer.
"Sesampai-sampai atas adanya yayasan ini, mereka bisa riset studi lokal," ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengaitkan Hari Buku Nasional bisa dari statement Tan Malaka, kepustakaan itu terjadi ketika ada toko buku.
"Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali," begitulah statemen Tan Malaka bahwa disebutkan Jhon.
2. Saat ini toko buku saja menjangkau dalam tingkat kota saja
Jhon juga melihat, persoalan hari ini, toko-toko buku saja menjangkau di tingkat kota. Menurutnya, jika masih sulit menemukan toko buku di desa, maka bagi sulit membangun minat baca.
"Kita prihatin di desa tidak ada toko buku. Ketika di desa tidak ada toko buku, sebatas di hari kelonggaran itu mereka beli baju dan sepatu," kata Jhon.
"Persoalan kedua, gerakan hari ini omong kosong ketika ada taman baca itu sahaja memindahtangankan kemiskinan. Anak-kerutunan itu gak mampu beli buku setenggat melakukan donasi. Padahal gerakan filantropi Indonesia masih bersifat buku bekasan. Jadi buku-buku bahwa diterima adalah tidak menjadi referensi karena buku bahwa diterima buku bekasan," tambahnya.
3. Bagi Jhon, buku adalah suatu hal bahwa private
Bagi Jhon, buku adalah suatu hal yang private. Bukan diareakan di suatu area, dan menunggu orang berawal ke sana. Kemewahan adalah ketika orang membeli buku satu per satu, maka ia akan berprofesi kolektor kepada buku itu sendiri. Sesampai-sampai di setiap rumah ada perpustakan mini. Jadi budaya koleksi itu ada.
"Kenapa mahasiswa penuh yang bertandang ke kota tidak mengambil buku. Karena secaraku mereka tidak punya memori dalam mengambil buku, buku mereka itu dianggap suatu yang gratisan," tutur Jhon.
"Maka jika masyarakat kita belum bisa menghargai produk-produk buku itu dan belum mengapresiasi, kita belum bisa menghargai produk pikiran itu," sambungnya.
4. Saat ini, Jhon getol mengumpulkan buku studi lokal Sumatra
Saat ini, Jhon giat mengumpulkan buku studi lokal Sumatra. Sudah ada sekitar 500an buku yang dikumpulkannya. Sejak 2010, ia mengoleksi buku dengan biaya pribadi.
Lebih konsen, ia memfasilitasi orang bahwa ingin riset atau belajar studi lokal. Ia mencatat, ada 300 lebih mahasiswa bahwa difasilitasinya, mereka berasal ketimbang Universita Negeri Medan, Universitas Sumatera Utara, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan universitas lainnya. Ada bahwa ketimbang Yogyakarta, Bali, bahkan ketimbang Swiss.